Valentine
Valentine Day atau Hari Cinta Kasih merupakan salah satu tradisi Barat yang telah menjangkiti kaum muda di penjuru dunia. Selain ”Thanksgiving” dan ”Halloween”, Valentine adalah produk budaya Kristen terbesar yang sukses mendunia. Mungkin yang paling sukses.
Valentine didasari oleh hukum utama kaum Kristen yaitu cinta kasih. Mereka menjadikan itu sebagai hukum kedua (Markus 12:13 dan Matius 22:39). Yaitu cinta kasih yang sebatas sesama manusia. Tidak lebih. Dan ini jelas berbeda dengan ajaran Islam dimana cinta kasih tidak hanya sebatas kepada sesama manusia, namun juga kepada binatang, tumbuhan dan alam semesta. Singkatnya umat Islam mengenalnya sebagai konsep ”Rahmatan Lil ’Alamin”.
Cinta kasih yang direfleksikan pada hari khusus (Valentine Day) ini banyak mengecoh kaum remaja bahkan dewasa. Serasa tidak terbendung, mereka berhambur merayakannya. Tiap tahun.
Kalau orang tua melarang, mereka bilang demi pergaulan. Biar nggak kuper, tangkisnya. Kalau tidak ikut Valentine, bukan anak gaul namanya. Kan cuma buka-buka kado, bagi-bagi hadiah. Yang penting kan tidak ikut acaranya. Begitu kilahnya.
Dulu, sebelum tahun 80-an atau 90-an, Valentine Day belum dirayakan. Sekarang perayaannya sangat meriah. Lalu sebagian dari kita pun mengira agar anak-anaknya tidak ketinggalan zaman, mereka diperkenankan (kalau bukan disuruh) ikut merayakan Valentine Day.
Sebelum membahas Valentine yang sekarang, perlu kiranya kita telusuri lebih dulu darimana Valentine itu berasal dan bagaimana kronologi kemunculannya sampai mendunia.
Sejarah Valentine
Pada zaman Athena kuno, Valentine itu diperingati dengan istilah ”Gamelion”. Yaitu peringatan terhadap perkawinan Dewa Zeus da Dewi Hera. Diselenggarakan selama satu bulan, sejak pertengahan Januari sampai pertengahan februari. Begitulah mereka mengapresiasikan keagungan cinta kasih Zeus terhadap Hera.
Perkembangan selanjutnya pada era Romawi kuno, ”Gamelion” tadi berubah menjadi ”Lupercalia”. Tokohnya Dewa Lupercus dan diperingati pada tanggal 15 Februari. Lupercalia merupakan upacara ritual, pensucian dan kutukan kemalangan dan kemandulan.
Adapun Lupercus sendiri adalah sosok lelaki yang digambarkan setengah telanjang dengan mengenakan pakaian dari kulit domba. Maka mereka itu pun menggambarkan Lupercus dalam wujud manusia setengah hewan (domba).
Ritualnya, pendeta Lupercus bersama kelompok kaum lelaki (kawula muda) mengorbankan seekor domba sebagai persembahan. Kemudian mereka meminum Wine (Khamar), berlari sepanjang jalan, sambil membawa-bawa potongan kulit domba.
Sementara golongan putrinya, mereka dengan senang hati menyiapkan dirinya untuk diusap dengan kulit domba tersebut. Harapan mereka, menjadi tersucikan dari kutukan kemalangan dan kemandulan.
Dari Roma, ritual itu lantas menyebar seiring invasi tentara Romawi ke Inggris dan Prancis. Saat itulah Lupercus menjadi semacam ”lotre pasangan”. Yaitu suatu tradisi yang sangat digandrungi dalam perayaan Lupercalia. Dimana masing-masing wanita muda memasukkan namanya dalam suatu bejana lalu kelompok pria datang mengambil satu kertas yang berisi nama seorang gadis. Nama yang tertera pada kertas itulah jodoh bagi mereka, yang berlaku selama berlangsungnya festival mereka. Perjodohan itu diyaknini mereka sebagai ketentuan yang ditakdirkan oleh Dewa Lupercus untuk mereka.
Akibatnya, sepasang muda-mudi yang sudah memiliki pasangannya sendiri, maka pada malam itu Dewa Lupercus aka menjodohkannya dengan pasangan yang berbeda. Lalu, mereka boleh berbuat apa saja. Berpelukan dan berciuman, bahkan berhubungan seksual.
Mereka melakukannya sepanjang waktu perayaan. Karena mereka percaya, bahwa mereka semua sudah dijodohkan oleh Lupercus, dewa mereka.
Perayaan ritual semacam ini, pada kasus tertentu menarik minat kaum muda. Ketertarikan mereka yang sedemikian kuat kepada acara tersebut, hura-hura, pesta pora pada gilirannya, mengakibatkan gereja kosong melompong. Sehingga Paus Gelasius yang menganggap acara-acara itu paganis dan immoral berupaya untuk mencari cara bagaimana masyarakat tersebut bisa kembali ke gereja. Yang ditemputnya kemudian adalah mengganti tokoh sentral perayaan. Lupercus digantikan dengan ”Valentino”.
Valentino adalah seorang pastur yang kelah dibunuh, dieksekusi mati dengan dipenggal oleh Claudius II (Raja Romawi, 265-270 M). Valentino mangkat pada tanggal 14 Februari 269.
Konon ceritanya, Claudius II itu memberlakukan ketentuan wajib militer bagi seluruh kaum lelaki di negerinya. Mereka harus ikut maju perang. Meski demikian, ada sekelompok remaja laki-laki yang tidak mau ikut wajib militer pada saat itu. Mereka menghindar, bersembunyi di rumahnya Valentino. Dan dilindungi oleh Valentino.
Akibatnya, perbuatan Valentino melindungi pemuda-pemuda itu, oleh Claudius II dikategorikan sebagai perbuatan makar terhadap kerajaan. Valentino dianggap memberontak, menentang keputusan raja. Maka, dia pun dijatuhi hukuman mati.
Sambil menunggu eksekusi atas dirinya, takkala dipenjara, Valentino mendapatkan perawatan dari seorang gadis sipir bui di sana. Gadis itu sebenarnya mempunyai paras yang cantik. Elok menawan. Sayang matanya buta.
Waktu malam hari, menjelang eksekusi paginya, Valentino menulis sepucuk surat cinta kepada sang gadis. Seorang pastus menulis surat cinta, setidaknya bagi Valentino yang sebentar lagi dijemput maut, bukan masalah. Toh dia akan mati juga. Bahkan Valentino tidak malu-malu untuk mengakui jatuh cinta kepada si gadis. Karena, toh gadis itu buta. Tidak bisa melihat perawakan dirinya.
Selanjutnya, menurut dongeng terjadi suatu keajaiban atas diri gadis itu. Setelah menerima surat cinta dari Valentino yang bersimbolkan ”heart” atau hati, matanya yang buta mendadak bisa melihat. Benar-benar keajaiban yang luar biasa. Dan begitulah dongeng mereka. Banyak ”bumbu”.
Dongeng-dongeng semacam itu dikalangan gereja banyak sekali. Termasuk dongeng ”snow white” dan ”sleeping beauty”.
Kemudian Paus Gelasius itulah yang pada akhirnya meresmikan tanggal 14 Februari sebagai hari valentine, pada tahun 498 M. Suatu bentuk sinkritisme perayaan paganis.
Selanjutnya adalah kelihaian kaum misionaris untuk mensosialisasikan Valentine Day, lantas mentradisikannya secara internasional.
Jadi, apakah sebenarnya yang disebut dengan ”valentine” itu sekarang?
Valentine Sekarang
Pada masa kini setiap tanggal 14 Februari, hari valentine mereka rayakan dengan cara berkumpulnya muda-mudi dalam suatu acara. Acara dansa berpasang-pasangan semalam suntuk. Mereka pun mengkonsumsi minuman beralkohol, khamar. Karena bagi mereka, khamar itu tidak haram hukumnya.
Kemudian seiring dengan maraknya peredaran narkoba dikalangan kaum muda, maka tidaklah mustahil dalam perayaan itu mereka juga menggunakan narkotika ataupun ekstasi (bisa jadi, psikotropika yang lain juga).
Yang terjadi berikutnya, tak terlalu sulit untuk dibayangkan. Mereka pun melakukan hubungan seksual sebagai manifestasi cinta kasih, sesuai interpretasi mereka. Mereka berdansa. Mereka mabuk. Mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Kemudian berhubungan ”cinta” secara fisik.
Cinta dalam konteks ini jelas berlainan dengan cinta dalam pengertian Islam. Karena cinta menurut Islam, sudah tercakup dan terwakili oleh konsep ”rahmatan lil ’alamin”.
Sedangkan cinta mereka, dalam perayaan tadi, bentuknya sudah ketahuan. Ekses dari pemakaian narkoba, dalam acara-acara itu sering menimbulkan keterlanjuran alias kebablasan.
Sehingga, mereka semakin kuat larut dalam perbuatan maksiat yang nyata-nyata telah diharamkan oleh agama. Tidak tertutup kemungkinan terjadinya perzinahan. Dan, pada urutan kausalitas, timbullah bermacam-macam penyakit. ”Aids” umpamanya.
Oleh sebab itu kita harus mawas diri. Lebih berhati-hati. Dalam hidup ini jangan mudah terbawa arus! Jangan meniru-niru apalagi mencontoh segala sesuatu yang belum diketahui kejelasan asal-usulnya.
Perhatikan firman Allah SWT, Q.S. Al-An’am: 116 yang berbunyi,
”Dan jikalau kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanya berdusta (terhadap Allah).”
Begitulah salah satu cara kaum Kristen mengikis akidah muslim dan menyesatkan mereka dari jalan Allah. Segala pendekatan budaya mereka gunakan, dari bacaan sampai tradisi perayaan ritual. Mereka ’menyuntikan’ obat permurtadan ke dalam tubuh umat Islam, seraya berancang-ancang menggarap pola pikiran Islam. Pendekatan ini disebut juga brain wash, cuci otak.
–Disarikan dari Buku Awas Bahaya Kristenisasi di Indonesia oleh Ibu Hj. Irena Handono